Merenungkan Kembali Demokrasi Kita - Melihat berbagai berita media massa sebulan terakhir ini saja membuat kita muak dengan kebobrokan moral di negeri ini. Mulai dari konflik agraria di Mesuji, persidangan remaja pencuri sandal jepit.
Tragedi dua remaja yang tewas akibat dugaan penganiayaan oleh polisi yang menginterogasi mereka, hingga deretan kasus suap dan renovasi berjumlah fantastis di DPR.
Semua membuat kita mengurut dada dan bertanya : Inikah buah dari Reformasi dan Demokratisasi selama hampir 14 tahun ini ?
Ada pemeo “ Demokrasi memang tidak sempurna. Tetapi itu
adalah sistem terbaik dari yang ada”
Demokrasi seolah-olah menjadi “Agama” karena jika terjadi masalah dalam
demokrasi, yang disalahkan adalah proses dan aktor-aktor demokrasinya, bukan
demokrasi itu sendiri.
Sejarah bangsa kita menunjukkan, demokrasi liberal yang
pernah kita jalankan pada Orde Lama ternyata memajan kita dengan masalah serupa
dengan yang kita hadapi sekarang.
Bung Karno pernah begitu jengkel terhadap ulah partai-partai
hingga dia ingin membubarkan partai politik. Dalam pidatonya “Marilah Kita
Kubur Partai-partai”(1956), Soekarno mengungkapkan kegeramannya karena
partai-partai saling sikut. Kebobrokan partai-partai menghasilkan
ketidakstabilan dan kemerosotan akhlak negara.
Bung Hatta juga jengkel melihat para politisi mempraktikkan
“Ultra Demokrasi” (“Demokrasi Kita”, Panji Masyarakat, 1960) yang cuma
menghasilkan jatuh-bangunnya berbagai kabinet dalam hitungan bulan.
Hanya saja,
kedua tokoh itu bersilang jalan soal
cara mengatasinya. Apabila Soekarno menggagas Demokrasi Terpimpin sebagai
solusi, Hatta memilih pembenahan partai. Solusi pertama terbukti gagal dalam
sejarah, sementara solusi kedua sudah kita coba selama 13 tahun ini dan lagi-lagi belum memberi hasil
menggembirakan.
Oleh karena itu, sekarang adalah saat yang tepat bagi kita
untuk menjauh dari solusi “Hatta-ian” yang mengedepankan pembenahan alias
“Reformasi” di satu sisi. Sebagai gantinya jangan-jangan bangsa kita memang
lebih cocok dengan solusi “Soekarno-ian” yang mengutamakan pentingnya pemimpin
kuat.
Hanya saja, pelaksanaanya dalam bentuk Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno
waktu itu tidak berjalan
baik.
Ismail Suny dalam disertasinya, “ Pergeseran Kekuasan
Eksekutif” (1963), mengungkapkan kejengahannya terhadap ketidakstabilan politik
akibat pelaksanaan Demokrasi Parlementer. Suny berpendapat, demokrasi liberal
telah gagal karena tidak cocok dengan
kultur indonesia.
Menurut Suny, Demokrasi Terpimpin secara ketatanegaraan
adalah corak demokrasi terbaik bagi Indonesia, mengamini pemikiran
integralistik Supomo yang menekankan kedaulatan sebagai kedaulatan negara bukan kedaulatan rakyat.
Negara
dianggap memiliki kapasitas sebagai bapak dan pengayom, yang mewujud dalam
konsep Demokrasi Terpimpin dengan dipandu seorang Bapak (dan kuat seperti
Soekarno).
Maka kita paham melalui Suny bahwa kegagalan demokrasi liberal telah
menyebabkan pendulum ketatanegaraan condong ke arah eksekutif (Executive Heavy)
dan berlanjut ke Era Soeharto hingga 1998.
Setali tiga uang dengan Suny, sosiolog senior Selo
Soemardjan dalam “Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita” (1961)
mengatakan upaya penggantian sistem pemerintahan koletif seperti dalam
demokrasi liberal dengan pemerintahan terpimpin sebenarnya mudah diterima
rakyat karena sejarah Indonesia memang lebih banyak dipenuhi oleh Raja, Sultan,
dan Penguasa absolut lainnya.
Mereka dianggap
masyarakat sebagai mediator dengan kosmologi penguasa kehidupan. Jadi,
masyarakat memercayakan semua kekuasaan kepada penguasa absolut itu seraya
mengharapkan kekuasaan itu digunakan untuk kesejahteraan manusia.
Pendek kata, meski tak memungkiri bahwa Demokrasi Terpimpin-solusi
“Soekarno-ian”-mencabut hak-hak dasar politik, Soemardjan menyatakan bahwa
konsep Primus Inter Pares (orang utama di antara para manusia yang setara
kedudukannya) seperti Demokrasi Terpimpin lebih cocok untuk Indonesia.
Akhirul kalam, perjalanan sejarah kita telah memampangkan
dua solusi bagi “Penyakit” dalam demokrasi, yang ternyata masih relevan bagi
era “Kebanditan dan Pembegalan Politik” saat ini.
Terpulang pada kita untuk
tetap bertahan dengan solusi “Hattaian” atau justru perlu memutar haluan menuju
penerapan kembali solusi “Soekarnoian”. Tentu dengan varian yang relevan. Semoga
menjadi renungan kita bersama yang ingin menyaksikan negara jaya. Tidak
berkubang dalam dosa.
SATRIO WAHONO
Sosiolog dan Magister Filsafat Universitas Indonesia
Sumber : Koran Kompas
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Comments
Post a Comment